Kamis, 15 Maret 2012

AGAMA MANUSIA

Ada seorang pemuda yang hidup terasing dari masyarakat dan tinggal di dalam goa. Lalu dia melihat bintang yang bercahaya terang dan berkata, “Inilah Tuhanku”, (Bisa jadi pula hal itu dia katakan dalam bentuk pertanyaan). Tetapi kemudian dia melihat bintang itu menghilang, sehingga dia menjadi tahu bahwa keterpaksaan yang ada dalam dirinya, juga terdapat hal yang sama dalam bintang yang di sangkanya Tuhan itu. Sesudah itu, dia melihat bulan purnama yang bersinar penuh dan berkata, “Inilah Tuhanku". Tetapi ketika dia melihat bulan itu mengalami nasib yang sama seperti yang dialami bintang dan dirinya, diapun menolak bulan itu sebagai Tuhannya. Berikutnya dia melihat matahari, dan berkata, "Inilah Tuhanku, karena ia lebih besar (dari yang lain)". Akan tetapi ternyata matahari yang besar itupun tenggelam pula. Akhirnya, dia melepaskan diri dari semua itu, dan mengambil kesimpulan yang sangat sederhana, yaitu; "Segala sesuatu yang dia lihat adalah benda-benda yang bergerak, di atur dan selalu dalam keadaan berputar”. Artinya, ada kekuatan yang menggerakkan dan menundukkannya.1

Dengan demikian pemuda itu melihat bahwa alam semesta ini seluruhnya di atur. begitu sampai di situ diapun berkata, "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi".2

Cerita di atas adalah kisah perjalanan seorang pemuda dalam pengasingannya yang kemudian diangkat menjadi Nabi sekaligus Rasul oleh Allah SWT, yakni Nabi Ibrahim as, yang kemudian diberi gelar Kholilulloh, (orang yang mencintai dan dicintai Allah).3

Berbicara agama, tidak lepas dari adanya dua komponen yang sangat pasti, pertama, Pencipta (Tuhan/Khaliq) dan kedua, yang diciptakan (alam/makhluq). Agama merupakan tuntunan bagi makhluk untuk menuju kepada Khaliq, syariat dalam agama diantaranya berisi tentang tujuan manusia atau makhluk itu sendiri.

Pengetahuan tentang awal mula kemunculan agama dapat diperoleh melalui berbagai metode dan sumber. Diantaranya dapat ditempuh melalui dalil-dalil dalam ayat-ayat al-Qur'an seperti dalam kisah Nabi Ibrahim di atas. Penjelasan lain dengan menggunakan analisa berdasarkan pemikiran-pemikiran yang disandarkan pada hukum kausalitas (sebab-akibat) seperti yang akan penulis gunakan di sini.
Matahari selalu terbit dari timur, malam tidak pernah mendahului siang, api selalu memiliki sifat panas, seluruh benda baik yang hidup maupun yang mati pasti berjalan menuju kepada kehancuran atau kematian, dan seterusnya. Semuanya terjadi dengan teratur, tidak ada api yang tidak memiliki sifat panas4, tidak ada benda yang bermula dari kehancuran menuju kepada kondisi baik atau tidak ada makhluk hidup yang bermula dari usia tua menuju muda, dan seterusnya. Semua selalu berjalan dengan teratur, tidak pernah berubah-ubah atau baganti proses sampai tiba saatnya seluruh alam mengalami kehancuran (kiamat), Itulah hukum alam atau yang dalam al-Qur'an di sebut dengan Sunnatutlah5. Sampai di sini dapat diambil kesimpulan bahwa semua itu pasti ada yang mengatur. Bukankah ini akan menimbulkan pertanyaan dalam benak kita, adakah sesuatu yang tidak di atur ?

Kita bisa katakan bahwa ; Adanya kebaikan karena adanya kejahatan, adanya besar karena ada yang kecil, adanya siang karena ada malam, adanya penjang karena ada yang pendek, dan seterusnya. Semua selalu berpasangan atau ganda, artinya segala sesuatu di alam ini terdiri dari dua bagian yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Adakah sesuatu yang tidak berpasangan atau terdiri dari satu saja/tunggal ?

Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang senada dengan itu yang dapat kita ambil dari berbagai fenomena yang ada di alam ini, dan semua pertanyaan itu jawabannya adalah “ADA", karena ; adanya akibat karena memiliki sebab, setiap sebab selalu memiliki akibat dan sebab itu sendiri adalah merupakan akibat dari sebab yang terdahulu (sebelumnya). Jadi sebab adalah akibat dan akibat adalah sebab.

Satu kejadian bisa sebagai sebab dan bisa juga sebagai akibat. Pertanyaannya adalah, adakah sebab yang tidak memiliki sebab ? adakah sebab dari segala sebab (sumber segalanya) ? Jawabannya adalah "ADA". Dia adalah "Penggerak yang Tidak Bergerak". Dialah yang Wajib al-Wujud (di baca: Wajibul Wujud), yang pasti adanya. Adapun "ada" yang tampak oleh panca indera ini hanyalah yang Mumkin al-Wujud (di baca: Mumkinul Wujud) mungkin adanya.

Keyakinan (pemikiran) seperti ini muncul dari dalam diri manusia sendiri. Setiap orang bisa melakukan analisa semacam ini selama dia mau berpikir. Bahkan ketika manusia tidak pernah bergaul sekalipun atau berada pada suatu tempat yang terasing jauh dari manusia lainnya, manusia pasti memiliki pemikiran semacam ini. Pengetahuan tentang hal-hal tersebut adalah fithrah yang ada dalam diri manusia.6 Artinya, walaupun tidak ada yang mengajari akan hal-hal tersebut, setiap manusia memiliki pemikiran itu. Adanya fithrah dibenarkan oleh al-Qur'an diantaranya seperti yang tercantum dalam surah ar-Ruum ayat 30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu".

Dari berbagai pemikiran di atas, manusia berusaha mencari dan ingin mengetahui apa, siapa, di mana, kapan, kenapa dan begaimanakah sebab dari segala sebab itu. Ketika manusia tidak mampu mengetahui dan berputus asa, maka ia meyakini sesuatu dan berbuat sesuatu yang sesuai dengan keyakinannya sendiri, dan perbuatan ini adalah jelas-jelas keliru. Ironisnya, keyakinan yang semacam ini diajarkan kepada manusia lainnya (kelompoknya), sehingga muncullah penyembahan-penyembahan kepada hal-hal yang bersifat inderawi semata. Tidak heran jika akhirnya banyak yang dengan PEDE-nya menobatkan dirinya sebagai utusan Tuhan (Nabi).

Dan sayangnya para pemikir-pemikir dunia (filsuf) justru menganggap perbuatan itu sebagai agama. Kesalahan dari pemikiran semacam inilah yang kemudian memunculkan berbagai teori tentang kemunculan agama yang sebetulnya tidak sesuai dengan hati nurani manusia itu sendiri. Sehingga banyak sekali yang mengklaim agama sebagai sesuatu yang mengikat. Ketika agama diklaim sebagai sesuatu yang mengikat manusia, sehingga independensi menjadi tertindas, maka yang muncul adalah persangkaan-persangkaan yang dangkal dan cenderung apriori.

Di sinilah sebetulnya peran para Nabi-Nabi Allah SWT (Rasulullah), mereka sebetulnya hanya mengingatkan manusia dan membimbingnya agar pemikiran, keyakinan dan perbuatan-perbuatan mereka tidak salah arah. Para Nabi mengajari manusia bagaimana metode dan mekanisme yang benar dalam mencari kebenaran dan menemukan sumber penciptaan yang hakiki yang sebetulnya sesuai sekali dengan fithrahnya. Apa yang diajarkan oleh Nabi, adalah apa yang selama ini "dibutuhkan" oleh manusia agar manusia tetap berada dalam fithrahnya. Tetapi banyak manusia yang tidak menyadari akan pentingnya hal ini kemudian mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele dan akibatnya banyak perbuatan-perbuatan yang cenderung menjauhkan manusia dari tujuan hidup yang sebenarnya.

Wallahu a'Iam bish showab.

KETERANGAN

1. Perlu diketahui bahwa di sini ada perbedaan antara penjelasan dalam al-Qur'an dengan penjelasan dalam Kitab Perjanjian Lama - Yahudi dan Kitab Perjanjian Baru -Nasrani tentang ketertundukan alam. Dalam kitab kaum Yahudi dan Nasrani, dijelaskan bahwa yang menundukkan alam adalah manusia. Berbeda dengan penjelasan dalam al-Qur'an yang menegaskan bahwa ketertundukan alam adalah oleh Tuhan (Sang Pencipta). Artinya Allah-lah yang menundukkan seluruh alam untuk manusia, dapat Anda baca diantaranya : QS; al-Jatsiyah, ayat 13.

2. QS : al-An'am, ayat 79

3. QS : al-An'am, ayat 76 - 79

4. Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh tentang api yang digunakan oleh Raja Namruj untuk membakar Nabi Ibrahim as, silahkan bertanya langsung kepada penulis makalah ini yakni Agus Rhomadi, masalahnya saya agak kesulitan untuk menjelaskan lewat tulisan, terima kasih sebelumnya.

5. Kata Sunnatullah, digunakan untuk pola-pola hukum yang menguasai hidup sosial manusia atau sejarah. Sedangkan kata Taqdirullah, digunakan untuk pola-pola hukum yang menguasai wujud kebendaan.

6. Lafadz fithrah yang digunakan dalam QS: Ar-Ruum : 30, adalah Iafadz yang mengikuti bentuk fi'lah. Dalam bahasa Arab, bentuk fi’lah menunjuk pada mashdar yang menunjukkan arti "keadaan atau jenis perbuatan". Seperti misalnya lafadz jilsah. Jika kita mengucapkan jalsah maka lafadz ini berarti "duduk satu kali". Tetapi jika kita mengucapkan jilsah, maka artinya adalah "keadaan duduk". Contoh : jalastu jilsata Zaidin, artinya "aku duduk seperti keadaan duduknya Zaid". Fithrah adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT yang tidak memiliki contoh. Allah menciptakan manusia menurut fithrah itu, artinya Allah menciptakan manusia tanpa memiliki contoh (tidak meniru dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya). Jadi fithrah adalah sesuatu yang diciptakan Allah yang sifatnya adalah baru sama sekali. Fithrah adalah sesuatu yang diberikan Allah kepada manusia secara langsung.